Oleh Salim Ibnu Abdul Choliq di Remaja Muslim ·
SEPENGGAL KISAH DARI KEIKHLASAN PARA SALAFFUSHALEH
(BAGIAN 2)
Bismillah...
Setelah pada tulisan pertama telah dijelaskan mengenai keikhlasan kaum salaf dalam menangis karena Allah, Insya Allah akan kita lanjutkan penjelasannya..selamat menyimak
Keikhlasan para salaf dalam beramal sholih
Adalah ‘Ali bin al-Husain bin ‘Ali radiallahhu anhu, beliau biasa memikul karung berisi roti setiap malam hari. Beliau pun membagi roti-roti tersebut ke rumah-rumah secara sembunyi-sembunyi. Beliau mengatakan:
“Sesungguhnya sedekah secara sembunyi-sembunyi akan meredakan kemarahan Rabb Azza wa Jalla.” Penduduk Madinah tidak mengetahui siapa yang biasa memberi makan. Tatkala ‘Ali bin al-Husain meninggal dunia, mereka sudah tidak lagi mendapatkan kiriman makanan setiap malamnya. Di punggung Ali bin al Hussain terlihat bekas hitam karena sering memikul karung yang dibagikan kepada orang miskin Madinah di malam hari. (Hilyatul Auliya’, 3/135-136)
Berkata Abu Hazim Salamah bin Dinar:
“Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan keburukan-keburukanmu, dan janganlah engkau kagum dengan amalan-amalanmu, sesungguhnya engkau tidak tahu apakah engkau termasuk orang yang celaka (masuk neraka) atau orang yang bahagia (masuk surga).” (Diriwayatkan al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no. 6500)
Ibrahim an-Nakha’i menceritakan, “Sesungguhnya mereka dahulu (ulama salaf) apabila sedang berkumpul maka mereka tidak suka apabila seorang di antara mereka harus menceritakan hal terbaik yang dia alami atau mengeluarkan perkara terindah yang ada pada diri mereka.”(Diriwayatkan oleh Ibnu Mubarak dalam az-Zuhd, dinukil dari Tajrid al Ittiba’ fi Bayan Asbabi Tafadhul al-A’mal, hal 53 cet. Dar al-Imam Ahmad, 1428 H)
Keikhlasan para salaf dalam berdakwah
Ketika seorang penceramah mengadu kepada Imam Muhammad bin Wasi’ seraya berkata, “Betapa aku melihat hati manusia tidak khusyu’, tidak menangis, dan sulit bergetar dengan nasihat. Mengapa?” Muhammad berkata, “Wahai Fulan, menurut pandanganku, mereka ditimpa keadaan demikian tidak lain sebabnya adalah dari dirimu sendiri, sesungguhnya nasihat itu jika keluarnya ikhlas dari dalam hati maka akan mudah masuk ke dalam hati (Orang yang mendengarnya).” (Siyar A’lam an-Nubala: 6/122)
Keikhlasan kaum salaf dalam menuntut ilmu
Ad-Daruquthni mengatakan,”Pada awalnya kami menuntut ilmu bukan semata-mata karena Allah, akan tetapi ternyata ilmu itu enggan, sehingga dia menyeretkami untuk ikhlas dalam belajar karena Allah.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, dinukil dari Ma’alim, halaman 20)
Hasan al Bashri berkata, “Semoga Allah merahmati sseseorang yang bisa menilai ketika timbul keinginannya. Jika keinginannya karena Allah dia teruskan, namun apabila untuk selainNya dia tangguhkan.” (HR. Al Baihaqi dalam Su’abul Iman: 5/458)
Kedudukan ikhlas bagi kaum salaf
Ibnul Qayyim berkata, “Beramal tanpa keikhlasan dan ittiba’ (meneladani Nabi), ibarat musafir yang mengisi kantongnya dengan pepasiran. Hanya memberatkannya dan tidak bermanfaat baginya.” (al Fawa’id hal 55 tahun 1993, Darul Fikr, Beirut)
Al Fudhail bin Iyadh menafsirkan firman Allah:
“Allahlah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS.Al Mulk: 2)
Beliau berkata, “Yang dimaksud paling baik amalnya, yakni yang paling ikhlas dan yang paling benar (dan sesuai tuntunan Allah). Sesungguhnya amal itu apabila ikhlas tapi tidak benar maka tidak akan diterima, dan apabila benar tapi tidak ikhlas juga tidak akan diterima. Jadi harus ikhlas dan benar. Suatu amalan dikatakan ikhlas apabila dilakukan karena Allah dan yang benar itu apabila sesuai Sunnah Rasulullah.” (Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, 1/36)
Yahya bin Abi Katsir berkata, “Pelajarilah niat karena niat lebih sempurna daripada amal.”
Ibnul Mubarak berkata: “Berapa banyak amal yang kecil menjadi besar karena niat dan berapa banyak amalan besar menjadi kecil karena niat.”
Muttharif bin Abdullah berkata, “Baiknya hati tergantung dari baiknya amal dan baiknya amal tergantung dari baiknya niat.” (Dinukil dari kitab Jami’ al-Ulum wa al-Hikam)
Imam al Jailani berkata kepada salah seorang muridnya, “Beramallah dengan ikhlas dan jangan lihat seluruh amal perbuatanmu. Amal perbuatanmu yang diterima adalah amal perbuatan yang engkau tujukan untuk mengharapkan keridhoan Allah, bukan keridhoan manusia. Engkau celaka jika beramal untuk manusia, namun engkau berharap perbuatanmu diterima Allah. Ini perbuatan gila!” (Al Fathu ar-Rabbani:36)
Imam As-Susi berkata: “Barangsiapa menyaksikan ikhlas dalam keikhlasannya maka keikhlasannya membutuhkan ikhlas.”
Yusuf bin Hsain ar-Rozi berkata, “Perkara yang paling mulia di dunia adalah ikhlas, berapa kali aku bersungguh-sungguh dalam menggugurkan riya’ dalam hatiku, akan tetapi seakan-akan riya’ itu tumbuh kembali dengan warna yang berbeda. (Jami’ al-Ulum wa al-Hikam hal.27 karya Imam Ibnu Rajab al Hanbali)
Penutup
Kita akhiri pembahasan kali ini dengan doa seorang salaf, Mutharrif bin Abdillah berkata dalam doanya:
“Ya Allah, aku memohon ampunan kepadaMu dari dosa yang aku sudah bertobat darinya kemudian aku terjatuh lagi di dalamnya, aku memohon ampunanMu dari amalan yang aku jadikan hanya untukMu kemudian aku tidak menepatinya untukMu, dan aku memohon ampunan kepadaMu dari amal yang aku anggap hanya untukMu, mengharap ridhoMu, kemudian bercampurlah hatiku dengan sesuatu yang Engkau mengetahuinya (maka ampunilah dosaku).” (Jami’ al-Ulum wa al-Hikam hal 27, cet. Ke 1, Dar el Aqidah Kairo, Mesir tahun 2002)
Adz-Dzakhiirah edisi 70 vol.09 No.04 1432H
(BAGIAN 2)
Bismillah...
Setelah pada tulisan pertama telah dijelaskan mengenai keikhlasan kaum salaf dalam menangis karena Allah, Insya Allah akan kita lanjutkan penjelasannya..selamat menyimak
Keikhlasan para salaf dalam beramal sholih
Adalah ‘Ali bin al-Husain bin ‘Ali radiallahhu anhu, beliau biasa memikul karung berisi roti setiap malam hari. Beliau pun membagi roti-roti tersebut ke rumah-rumah secara sembunyi-sembunyi. Beliau mengatakan:
“Sesungguhnya sedekah secara sembunyi-sembunyi akan meredakan kemarahan Rabb Azza wa Jalla.” Penduduk Madinah tidak mengetahui siapa yang biasa memberi makan. Tatkala ‘Ali bin al-Husain meninggal dunia, mereka sudah tidak lagi mendapatkan kiriman makanan setiap malamnya. Di punggung Ali bin al Hussain terlihat bekas hitam karena sering memikul karung yang dibagikan kepada orang miskin Madinah di malam hari. (Hilyatul Auliya’, 3/135-136)
Berkata Abu Hazim Salamah bin Dinar:
“Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan keburukan-keburukanmu, dan janganlah engkau kagum dengan amalan-amalanmu, sesungguhnya engkau tidak tahu apakah engkau termasuk orang yang celaka (masuk neraka) atau orang yang bahagia (masuk surga).” (Diriwayatkan al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no. 6500)
Ibrahim an-Nakha’i menceritakan, “Sesungguhnya mereka dahulu (ulama salaf) apabila sedang berkumpul maka mereka tidak suka apabila seorang di antara mereka harus menceritakan hal terbaik yang dia alami atau mengeluarkan perkara terindah yang ada pada diri mereka.”(Diriwayatkan oleh Ibnu Mubarak dalam az-Zuhd, dinukil dari Tajrid al Ittiba’ fi Bayan Asbabi Tafadhul al-A’mal, hal 53 cet. Dar al-Imam Ahmad, 1428 H)
Keikhlasan para salaf dalam berdakwah
Ketika seorang penceramah mengadu kepada Imam Muhammad bin Wasi’ seraya berkata, “Betapa aku melihat hati manusia tidak khusyu’, tidak menangis, dan sulit bergetar dengan nasihat. Mengapa?” Muhammad berkata, “Wahai Fulan, menurut pandanganku, mereka ditimpa keadaan demikian tidak lain sebabnya adalah dari dirimu sendiri, sesungguhnya nasihat itu jika keluarnya ikhlas dari dalam hati maka akan mudah masuk ke dalam hati (Orang yang mendengarnya).” (Siyar A’lam an-Nubala: 6/122)
Keikhlasan kaum salaf dalam menuntut ilmu
Ad-Daruquthni mengatakan,”Pada awalnya kami menuntut ilmu bukan semata-mata karena Allah, akan tetapi ternyata ilmu itu enggan, sehingga dia menyeretkami untuk ikhlas dalam belajar karena Allah.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, dinukil dari Ma’alim, halaman 20)
Hasan al Bashri berkata, “Semoga Allah merahmati sseseorang yang bisa menilai ketika timbul keinginannya. Jika keinginannya karena Allah dia teruskan, namun apabila untuk selainNya dia tangguhkan.” (HR. Al Baihaqi dalam Su’abul Iman: 5/458)
Kedudukan ikhlas bagi kaum salaf
Ibnul Qayyim berkata, “Beramal tanpa keikhlasan dan ittiba’ (meneladani Nabi), ibarat musafir yang mengisi kantongnya dengan pepasiran. Hanya memberatkannya dan tidak bermanfaat baginya.” (al Fawa’id hal 55 tahun 1993, Darul Fikr, Beirut)
Al Fudhail bin Iyadh menafsirkan firman Allah:
“Allahlah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS.Al Mulk: 2)
Beliau berkata, “Yang dimaksud paling baik amalnya, yakni yang paling ikhlas dan yang paling benar (dan sesuai tuntunan Allah). Sesungguhnya amal itu apabila ikhlas tapi tidak benar maka tidak akan diterima, dan apabila benar tapi tidak ikhlas juga tidak akan diterima. Jadi harus ikhlas dan benar. Suatu amalan dikatakan ikhlas apabila dilakukan karena Allah dan yang benar itu apabila sesuai Sunnah Rasulullah.” (Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, 1/36)
Yahya bin Abi Katsir berkata, “Pelajarilah niat karena niat lebih sempurna daripada amal.”
Ibnul Mubarak berkata: “Berapa banyak amal yang kecil menjadi besar karena niat dan berapa banyak amalan besar menjadi kecil karena niat.”
Muttharif bin Abdullah berkata, “Baiknya hati tergantung dari baiknya amal dan baiknya amal tergantung dari baiknya niat.” (Dinukil dari kitab Jami’ al-Ulum wa al-Hikam)
Imam al Jailani berkata kepada salah seorang muridnya, “Beramallah dengan ikhlas dan jangan lihat seluruh amal perbuatanmu. Amal perbuatanmu yang diterima adalah amal perbuatan yang engkau tujukan untuk mengharapkan keridhoan Allah, bukan keridhoan manusia. Engkau celaka jika beramal untuk manusia, namun engkau berharap perbuatanmu diterima Allah. Ini perbuatan gila!” (Al Fathu ar-Rabbani:36)
Imam As-Susi berkata: “Barangsiapa menyaksikan ikhlas dalam keikhlasannya maka keikhlasannya membutuhkan ikhlas.”
Yusuf bin Hsain ar-Rozi berkata, “Perkara yang paling mulia di dunia adalah ikhlas, berapa kali aku bersungguh-sungguh dalam menggugurkan riya’ dalam hatiku, akan tetapi seakan-akan riya’ itu tumbuh kembali dengan warna yang berbeda. (Jami’ al-Ulum wa al-Hikam hal.27 karya Imam Ibnu Rajab al Hanbali)
Penutup
Kita akhiri pembahasan kali ini dengan doa seorang salaf, Mutharrif bin Abdillah berkata dalam doanya:
“Ya Allah, aku memohon ampunan kepadaMu dari dosa yang aku sudah bertobat darinya kemudian aku terjatuh lagi di dalamnya, aku memohon ampunanMu dari amalan yang aku jadikan hanya untukMu kemudian aku tidak menepatinya untukMu, dan aku memohon ampunan kepadaMu dari amal yang aku anggap hanya untukMu, mengharap ridhoMu, kemudian bercampurlah hatiku dengan sesuatu yang Engkau mengetahuinya (maka ampunilah dosaku).” (Jami’ al-Ulum wa al-Hikam hal 27, cet. Ke 1, Dar el Aqidah Kairo, Mesir tahun 2002)
Adz-Dzakhiirah edisi 70 vol.09 No.04 1432H
0 comments