Thursday, 12 April 2012

“DAGELAN” (MELAWAK) DALAM DAKWAH

  • “DAGELAN” (MELAWAK) DALAM DAKWAH

    Geerr...?! Hahahaha...hihihi...
    Sontak tawa jamaah pengajian meledak tatkala melihat tingkah aneh sang da’i. Tingkah “lebay” si da’i dan gaya bicaranya yang dibuat-buat ternyata membuat sebagian besar jamaah terpingkal-pingkal dalam tawa. Entah jamaah pengajian paham atau tidak  materi pengajian, yang penting lucu.

    Di sisi yang lain, acara suatu pengajian berubah menjadi arena tawa ria karena sang da’i lebih suka ngebanyol ketimbang menyampaikan materi-materi terbaik. Dan biasanya, da’i yang kondang dengan dagelannya lebih banyak “diminati” daripada dai-dai yang konsisten menyampaikan ilmu syar’i. Sebagian dai bahkan sampai kebanjiran “order” mengisi ceramah karena popularitasnya sebagian dai ndagel. Apa harus begini kalau berdakwah?

    MAU NGLAWAK ATAU DAKWAH?

    Terkadang, humor dalam berdakwah memang dibutuhkan. Rasulullah seringkali juga menyampaikan dakwah melalui humor kepada para sahabat agar mudah diterima. Langkah yang sama juga beberapa kali dilakukan oleh generasi terdahulu dalam beberapa kesempatan. Namun bukan berarti menjadikan dakwah sebagai “ajang dagelan” (ajang melawak) tentunya. Guyonan yang pas dan tidak melanggar syariat hanyalah sebagai PELENGKAP DALAM DAKWAH BUKAN SEBAGAI TUJUAN UTAMA!! Ibarat makan bakso, humor dalam dakwah ibarat kerupuknya. Jadi, humor boleh keluar sesekali tanpa menghilangkan esensi dari dakwah itu sendiri.

    Sayangnya, banyak umat Islam yang lebih suka dai yang “lucu” daripada dai yang ilmiah. Seringkali kalangan dai yang “lucu” dianggap ilmiah sementara dai yang tak humoris dianggap sebagai dai yang ketinggalan zaman. Tentu keilmiahan dakwah bukan diukur dari lucu atau tidaknya sebuah dakwah, melainkan dari sesuai atau tidaknya acara dakwah tersebut dengan tujuan dakwah utama yaitu MENYAMPAIKAN KEBENARAN AL QUR’AN & HADITS. Meskipun dakwah tersebut dihadiri sejuta orang namun tak sesuai dengan Al Qur’an & Sunnah tentu tak bisa dikatakan ilmiah. Sebaliknya, bila materi yang disampaikan sudah sesuai ajaran Islam yang lurus maka sebuah dakwah dikatakan ilmiah meskipin dihadiri segelintir orang. Sukses / tidaknya dakwah bukan hanya terletak pada jumlah peserta yang hadir, namun juga kualitas dari dakwah itu.

    Bila kita mau teliti, dakwah dan nglawak tak bisa disamakan. Dakwah menggunakan ilmu syar’i sebagai landasannya sementara nglawak terjadi tanpa dasar ilmu syar’i. Dari sisi pahala, dakwah merupakan amalan mulia yang bisa mendatangkan pahala bagi pelakunya, sedangkan nglawak kalo tak hati-hati justru mendatangkan dosa bagi pelakunya. Terlebih jika ada bumbu dusta & kebohongan meski kecil. Rasulullah ﷺ bersabda
    “Celakalah bagi orang yang berbicara lalu berdusta untuk membuat orang lain tertawa. Celakalah dia, celakalah dia,celakalah dia.” (HR.Abu Dawud no.4990, Tirmidzi no.2315, dinyatakan hasan shahih oleh syaikh al Albani dalam Shahih Al Jami’ no.7316)

    Untuk itulah, kita harus proporsional menempatkan agenda dakwah dan agenda nglawak. Jangan sampai, dakwah yang disampaikan hanyalah acara lawak demi mendapat simpati jamaah.

    DAKWAH DENGAN ILMU

    Dakwah adalah tugas mulia dan amalan yang bernilai ibadah. Jadi setiap amalan dan ibadah harus ikut apa yang telah dicangkan oleh Rasulullah, bukan malah membuat aturan sendiri bahkan improvisasi ibadah dengan menambah-nambahkan seperti yang banyak terjadi. Karena dakwah bersifat tauqiffiyyah yang berarti harus berdasar petunjuk wahyu, maka barangsiapa yang membuat aturan sendiri,bukan kebaikan yang didapat,melainkan kerusakan dan keburukan. Allah berfirman
    ...فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى .

    ..Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. (QS.Thaha:123)

    TUJUAN MATERI SURGA

    Berdakwah sejatinya merupakan amalan yang indah. Dengan menyampaikan kebenaran, kita tidak hanya mendapat pahala dari apa yang kita sampaikan namun juga dari mereka yang mengerjakan nasehat itu. Namun ketika berdakwah ternoda oleh canda bahkan sampai kelewat batas, bukan surga lagi yang diraih, namun, bisa-bisa adzab yang akan dituai.

    Untuk itulah setiap orang yang ingin menyandang label sebagai “dai” seharusnya meluruskan niatnya untuk meraih surga dan keridhoan Allah. Pujian ataupun beberapa imbalan yang diperoleh dari kegiatan berdakwah bukan tujuan utama seorang dai melakukan aktivitasnya. Justru bila tidak hati-hati, pujian atau imbalan akan membuat seseorang lupa akan tujuan utamanya. Banyak sebagian dai yang akhirnya menjauhi popularitas. Bagi mereka, popularitas hanya akan melancengkan tujuan untuk meraih surga. Banyak dari mereka lebih fokus untuk memperbaiki umat ketimbang mencari “imbalan” dari umat. Tak peduli umat memberi imbalan atau tidak, karena dalam diri mereka tertanam keyakinan bahwa Allah pasti membalas jerih payah dalam dakwah. Bila balasan belum datang di dunia, tentu balasan tersebut sudah disediakan di akhirat tentunya dalam wujud kenikmatan surga

    Terakhir, kita kudu lebih pintar dalam memilih ceramah-ceramah dakwah. Harus bisa membedakan mana guyonan  dan mana yang benar-benar ilmu syar’i. Semakin kita belajar, kita akan semakin paham tentang arti penting dakwah itu. Bila suatu saat nanti ada kesempatan untuk berdakwah, jangan lupa untuk mengedepankan dalil syar’i ketimbang guyonan. Umat ini butuh perbaikan jiwa, bukan dagelan yang melalaikan jiwa.

    Wallahu A’lam

    Bekasi, 17-3-12

    Diketik ulang : Salim Ibnu Abdul Choliq

    Sumber: elfata edisi 10 vol.11
Load disqus comments

0 comments

comments