Thursday, 22 December 2011

SEPENGGAL KISAH DARI KEIKHLASAN PARA SALAFUSSHALEH (BAGIAN 1)




Ikhlas..Sebuah kata yang mudah diucapkan dengan lidah namun tidak mudah melekat di hati, lihatlah keadaan para generasi pendahulu kita, mereka adalah orang yang terjaga hatinya.  Menyelami kehidupan mereka bagaikan kita bertamasya ke taman bunga, indah di mata, wangi terasa, dan keteduhan akan datang menyapa kita.
Imam Abu Hanifah berkata,”Membaca kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab fiqih. Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlak luhur mereka.” (Al Madkhol, 1/164, Mawqi’ al Islam)
Para salaf dahulu selalu menjaga hati mereka, mereka takut mata-mata manusia melihat ibadahnya, mereka menyembunyikan amal baktinya melebihi kondisi mereka dalam menyembunyikan emas-permata, mereka takut digugurkan pahala amal ibadah mereka. Sebagian kaum salaf mengatakan, “Aku berharap ibadahku hanyalah antara diriku dengan Allah, tidak ada mata yang melihatnya.”

Sufyan ats-Tsauri berkata:
“Tidaklah aku bersungguh-sungguh mengobati sesuatu hal, melebihi kesungguhanku dalam menjaga hatiku, karena ia selalu berubah-ubah padaku.” (Jami’ al Ulum wa al-Hikam, hal 18, karya Ibnu Rajab al-Hanbali, cet. Ke-1, Dar el Aqidah, Kairo, Mesir. Tahun 2002)

Benarlah apa yang beliau katakan, karena hati manusia ibarat kapas yang berada di tanah yang luas lagi lapang, kemudian datanglah angin kencang yang menyapa, maka terombang-ambinglah kapas tadi melaju tanpa tujuan.

Keikhlasan kaum salaf dalam menangis karena Allah

Diriwayatkan bahwa Sufyan ats-Tsauri menangis, kemudian beliau berkata,” Aku takut ditulis oleh Allah sebagai orang yang celaka,” beliau terus menangis, kemudian berkata,”Aku takut keimanan ini dicabut dari diriku ketika aku akan meninggal dunia.” Ini menunjukan bagaimana takutnya beliau dari terbaliknya hati dari keimanan menuju kekufuran. (Khusnul Khatimah wa Suu’uhaa, karya Khalid bin Abdurrahman asy-Syayi’, hal 4, cet. Al-Maktab at-Ta’awuny)

Diriwayatkan bahwa Imam Malik bin Dinar berdiri di tengah malam sambil memegang jenggotnya, seraya berkata: “ Ya Ilaahi, engkau telah mengetahui siapa saja (di antara hambamu) yang masuk surga dan siapa saja yang jadi penghuni neraka, lalu kemanakah tempat kembaliku (apakah surga yng ku tuju ataukah neraka yang menantiku).” Beliau selalu mengucapkannya sampai datang waktu Subuh (Fajar). (Khusnul Khatimah wa Suu’uhaa, hal 4)

Diriwayatkan pula bahwa Ayyub as-Sikhtiyaani adalah seorang yang berhati lembut, apabila beliau menjumpai ibroh (hikmah), maka beliau tak kuasa menahan air matanya, kemudian beliau mengusap wajah dan hidungnya sambil berkata,”Alangkah berat penyakit flu ini”, beliau melakukan itu karena tidak ingin tangisannya karena Allah diketahui orang lain. (Siyar A’laam an-Nubala’, 6/20 karya al Imam Adz-Dzahabi)

Jika salah seorang dari generasi tabi’in tidak mampu berpura-pura sakit untuk merahasiakan air matanya, ia berdiri sebab khawatir air matanya diketahui banyak orang. Itulah yang disebutkan Imam Hasan al Bashri. Ia berkata, “Seseorang duduk di satu tempat. Jika air matanya keluar, ia menahannya. Jika ia khawatir air matanya tak dapat dibendung, ia berdiri” (Az-Zuhd, Imam Ahmad: 262)

Al A’masi mengatakan, “ Suatu saat Hudzaifah menangis di dalam sholatnya. Setelah selesai ia berbalik dan ternyata ada orang di belakangnya, maka beliau pun berkata, “Jangan kamu beritahukan siapapun tentang hal ini.” ” (Diriwayatkan oleh al Hasan adh-Dhorrob dalam Dzamm ar-Riya’, dinukil dari Tajrid al Ittiba’ fi Bayan Asbabi Tafadhul al-A’mal, hal 53, cet. Dar al Imam Ahmad, 1428 H)

Diriwayatkan bahwa Ibnu Abi Laila melaksanakan sholat, kemudian tatkala dia merasa ada seseorang yang akan masuk (kamarnya) maka beliau langsung berbaring di tempat tidurnya. Sebagaimana diriwayatkan pula bahwa sebagian para salaf dahulu melaksanakan sholat dan menangis, kemudian tatkala ada seorang tamu yang datang maka mereka mencuci wajahnya untuk menghilangkan bekas air mata mereka. (Lihat Miftah al Afkar li at-Ta’ahuubi li Dar al-Qoror, 2/27, karya Abdul Aziz bin Muhammad as-Salman)

Itulah para ulama’, tangisan mereka adalah tangisan keikhlasan, keteduhan dan sumber kebahagiaan, bukan tangisan kepura-puraan, kemunafikan dan berharap pujian sebagaimana yang dilakukan kebanyakan manusia zaman sekarang, semoga mata mereka (para ulama salaf) di jaga oleh Allah dari api neraka. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ :
“Ada 2 mata yang tidak tersentuh api neraka: mata yang menangis karena Allah dan mata yang terjaga di malam hari karena berjuang di jalan Allah.” (Dikeluarkan Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya: 1337 dan dishahihkan al-Albani dalam Al Miskat: 3829)

Beliau juga bersabda:
“Tujuh golongan yang Allah naungi pada hari kiamat nanti di hari yang tidak ada naungan kecuali naungan Allah, kemudian beliau menyebutkan di antaranya: seseorang yang mengingat Allah dalam kesendiriannya kemudian mengalirlah air matanya.” (HR.Bukhari : 1357 dan Muslim: 2427)
Tidakkah kita melihat tangisan Rasulullah ﷺ: Diriwayatkan dari ‘Ubaid bin Amir: “Sesungguhnya dia bertanya kepada Aisyah: “Kabarkan kepada kami perkara yang paling anda kagumi dari Rasulullah ﷺ”, kemudian Aisyah berkata, “Pada suatu malam Rasulullah ﷺ berkata kepadaku, “Wahai Aisyah, biarkan aku menyembah kepada Rabb ku malam hari ini,” maka aku berkata, “Ya Rasulullah, aku ingin berada di dekatmu dan menyukai apa yang menggembirakanmu,” tetapi beliau berdiri dan mengambil air wudlu, kemudian beliau berdiri melaksanakan sholat yang panjang, beliau terus menangis dalam sholatnya, sampai basah pangkuannya dan basah pula tanah tempat beliau bersujud, kemudian datanglah Bilal untuk menjemput beliau (melaksanakan sholat Subuh), ketika dia (Bilal) menjumpai Rasulullah menangis maka dia mengatakan,” Ya Rasulullah, Anda menangis? Bukankah Allah telah mengampuni dosa Anda, baik yang lalu atau yang akan datang?” Beliau ﷺ menjawab, “Kenapa aku tidak menjadi hamba yang bersyukur? Telah turun kepadaku sebuah ayat, sungguh celaka bagi umatku yang membacanya akan tetapi tidak memahaminya.” Kemudian beliau membaca ayat:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لِّأُوْلِي الألْبَابِ .

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (QS. Ali Imran: 190).” (Dishahihkan al-Albani dalam Shahih at-Targhib: 1468 dan ash-Shahihah: 68)

Sungguh alangkah jauhnya kita dari keikhlasan mereka... (Bersambung)
Load disqus comments

0 comments

comments